Ilustrasi Pseudomembran difteri
Difteri merupakan penyakit akut yang diakibatkan oleh ektraselluler protein, eksotoksin Corynebacterium diphteriae. Penyakit ini ditandai dengan terbentuknya pseudo-membran yang terjadi pada kulit dan/atau mukosa. Corynebacterium diphteriae merupakan kuman batang gram positif, non motil, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60°C dan tahan dalam keadaan beku dan kering. Kuman ini mampu memproduksi eksotoksin. Difteri tersebar di seluruh dunia. Di indonesia angka kejadian difteri juga tampak menurun seiring dengan meningkatnya status imunitas populasi 1,2,3,4. Penelitian saat terdapat outbreak di nigeria didapatkan 98% dari 98 penderita Difteri sebelumnya tidak pernah mendapatkan imunisasi dan juga tidak mendapatkan antibiotika saat terkena difteria (LoE:2c)6.
Produksi toksin terjadi hanya bila kuman mengalami lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya galur toksigenik yang dapat menimbulkan penyakit berat. Ditemukan ada 3 galur bakteri yaitu galur gravis, belfanti dan mitis. Tipe gravis biasanya didapatkan pada kasus yang berat7. Difteri ditularkan melalui droplet saat kontak dengan pasien atau karier. Kontak ini dapat terjadi saat batuk, bersin dan bicara. Kuman ini masuk melalui mukosa kemudian berkembang biak pada permukaan mukosa saluran pernapasan bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang merembes ke sekeliling, lalu dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh darah dan limfe. Eksotoksin yang diproduksi kuman ini akan berefek pada penghambatan produksi protein lewat proses translokasi. Akibat dari tidak terbentuknya rangkaian polipeptida yang seharusnya diproduksi sel, maka terjadi kematian sel pada jaringan tersebut. Akan terjadi nekrose pada daerah kolonisasi kuman disertai respon inflamasi lokal. Ketika produksi toksin sudah semakin bertambah banyak maka daerah infeksi semakin lebar, terbentuk membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman. Membran ini terdiri dari fibrin, sel-sel radang, eritrosit dan epitel1,5. Pada Pseudo membran ini dapat terjadi infeksi sekunder oleh bakteri. Pseudo membran yang oedematus juga dapat menyumbat jalan napas. Komplikasi lebih lanjut akibat toksin yang beredar ke seluruh tubuh adalah adanya miokarditis yang dapat terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi pada saraf berupa neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada myelin umumnya terjadi setelah 3-7 minggu. Serta kadang terjadi nekrosis tubular renalis akut1-3,5.
Masa tunas penyakit ini berlangsung 2-6 hari. Biasanya pasien baru datang berobat jika sudah mengalami gejala sistemik. Pada pasien ini pseudo membran terdapat pada sekitar tonsil dan faring. Pada kasus seperti ini gejala yang biasanya didapat berupa adanya anoreksia, malaise, demam, dan nyeri telan. Dalam waktu 1-2 hari kemudian akan timbul pseudo-membran yang dapat menutupi tonsil dan dinding faring. Keluhan ini dapat meluas ke uvula dan palatum molle atau meluas ke bawah menuju laring dan trakea. Kemudian dapat ditemukan adanya limfadenitis servikalis dan submandibular yang jika disertai edema jaringan lunak sekitar maka akan timbuk Bullneck1,2.
Diagnosis difteri harus ditegakkan berdasarkan pemeriksaan klinis. Hal ini dikarenakan penundaan terapi akan membahayakan pasien. Diagnosis pasti difteri dilakukan dengan isolasi C.diphteriae dengan pembiakan pada media loeffler. Kemudian dilanjutkan dengan tes toksigenitas secara in vivo (pada marmut) dan in vitro. Penentuan difteri dengan sediaan secara langsung kurang dapat dipercaya. Pemeriksaan antibodi dengan flourescent antibody technique merupakan cara yang lebih akurat1,2. Penelitian di India didapatkan 44,1% kasus difteri yang menunjukkan hasil kultur C. Diphteriae positif dengan menggunakan biakan loeffler. Hal ini bisa terjadi dikarenakan pengelolaan spesimen yang kurang bagus, juga bisa dikarenakan misdiagnosis (LoE:2c)8.
Penatalaksanaan pasien dengan difteri secara umum dilakukan dengan melakukan isolasi 2-3 minggu untuk menghindari penularan, pasien diberi kesempatan untuk istirahat serta pemberian cairan dan diet yang adekuat dan dilakukan pengawasan terhadap kemungkinan terjadinya komplikasi pada saluran napas. Tatalaksana yang lebih spesifik dilakukan dengan pemberian ADS (Anti Diphteria Serum) yaitu serum anti difteri yang berisi antitoksin. Pemberian ADS ini diberikan segera setelah pasien didiagnosis difteri. Dengan pemberian ADS pada hari pertama, angka kematian penderita kurang dari 1%. Penundaan pemberian ADS lebih dari hari ke enam menyebabkan angka kematian meningkat menjadi 30%. ADS ini hanya bermanfaat dalam menetralisir eksotoksin yang bebas tapi tidak berpengaruh terhadap toksin yang sudah melakukan penetrasi ke dalam sel. Sehingga diperlukan pemberian antibiotika yang berfungsi untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Biasanya diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 IU /kgBB/hari selama 10 hari. Pada kasus yang disertai obstruksi saluran napas bagian atas dengan atau tanpa disertai Bullneck, pemberian kortikosteroid dapat dipertimbangkan. Pada kasus yang berat diperlukan tindakan trakeostomi1,7.
Pada pasien ini pemberian ADS dilakukan pada hari pertama setelah dirawat di RSDM (hari ke-2 setelah demam). ADS yang diberikan sesuai dengan lokasinya yaitu pada faring yaitu sebanyak 40.000 KI secara intravena setelah pada uji kulit tidak didapatkan adanya reaksi alergi. Selain itu pasien ini diberikan juga antibiotika golongan penisilin yaitu Ampisilin dengan dosis 50 mg/KgBB/6jam secara intravena.
Penatalaksanaan pada difteria tidak hanya difokuskan pada pasien saja namun juga dilakukan isolasi dan pemeriksaan biakan hidung dan tenggorok serta pemantauan gejala klinis serta pada anak yang kontak dengan pasien. Pada anak yang telah mendapatkan imunisasi dasar hendaknya diberikan booster toksoid difteria. Disamping itu pada karier difteri juga harus diberikan pengobatan berupa penisilin prokain maupun eritromisin. Karier adalah mereka yang mengandung basil difteri dalam nasofaringnya namun tidak menunjukkan keluhan1.
Uji schick merupakan pemeriksaan yang berguna untuk mengetahui apakah didapatkan adanya antibodi terhadap toksin difteria pada seseorang. Uji ini dilakukan dengan cara menyuntikkan toksin difteria dosis kecil secara intradermal. Uji ini dianggap positif jika didapatkan adanya reaksi inflamasi pada tempat injeksi yang terjadi dalam 24-36 jam. Hal ini menandakan tidak ada kekebalan (tidak ada anti toksin) demikian sebaliknya1-3. Namun demikian WHO menyatakan pemeriksaan ini sudah jarang dilakukan dikarenakan adanya kesulitan dalam teknik injeksi intradermal, adanya ketidaknyamanan jika hasil pemeriksaan positif, perlu kunjungan 2 kali untuk pembacaan hasil dan juga tidak reliabel untuk kasus-kasus dengan pasien anergi4.
Kementrian kesehatan mempunyai program pencegahan penyakit ini dengan imunisasi DPT yang dilakukan sebanyak 3 kali saat usia 2, 3, dan 4 bulan. Sementara WHO merekomendasikan imunisasi difteri sebanyak 3 kali imunisasi dasar dimulai saat usia 6 minggu kemudian ditambah imunisasi booster untuk meningkatkan efektifitas imunisasi6. Sedangkan IDAI (ikatan dokter Indonesia) sendiri menganjurkan selama usia anak-anak (kurang dari 18 tahun) diberikan imunisasi difteria sebanyak 7 kali, yaitu 5 kali dengan menggunakan DPT, dan dua kali menggunakan Td7. Menurut ibu pasien, pasien ini telah mendapatkan imunisasi dasar sesuai dengan kebijakan kemenkes. Imunisasi pasien dilakukan rutin di sebuah klinik. Imunisasi yang didapat termasuk imunisasi DPT sebanyak 3 kali saat usia 2,3 dan 4 bulan. Seorang anak yang telah mendapatkan imunisasi difteria lengkap mempunyai antibodi terhadap toksin difteria namun mereka tidak mempunyai antibodi terhadap organisme/kumannya1. sedangkan setelah menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu dilakukan imunisasi. Pada laporan pengembangan imunisasi tahun 2003 didapatkan 98,45% bayi mempunyai antibodi 0,1545 IU/mL setelah mendapat DPT ke-3. Namun lama kekebalan yang didapat masih perlu mendapat perhatian. IDAI menyarankan perlunya booster baik pada setahun setelah DPT ke-3 maupun pada usia 4-5 tahun7. Pasien ini berusia 2 tahun 10 bulan dengan riwayat mendapatkan imunisasi DPT 3 kali saat usia sebelum 1 tahun. Pada penelitian di Cikalong wetan cianjur saat terjadi KLB (kejadian Luar Biasa) didapatkan data bahwa walaupun cakupan imunisasi DPT tinggi, hanya 19,3% saja yang memiliki kadar antibodi di atas nilai proteksi jangka panjang (≥0,1 IU/mL), dan titer ini menurun pada kelompok usia 1-2 tahun dan pada usia 5-6 tahun tidak didapatkan subyek yang mempunyai titer di atas nilai protektif (LoE:2c)9.
XII. DAFTAR PUSTAKA
1. Soedarmo, S.S.P., Garna,H.,Hadinegoro, S.R.S., Satari, H.I.,Buku ajar infeksi & pediatri tropis edisi kedua. IDAI. 2012.h. 312-20
2. Rahajoe,N.N., Supriyatno,B., Setyanto D.B.,Buku ajar respirologi anak edisi pertama. IDAI. 2008
3. Control of Communicable Diseases Manual (CCDM), American public Health Association. 19th ed. 2008
4. Scheifele,D.W., Ochnio, J.J., The imununological basis for immunization series:Diphteria update. The department of immunization, vaccines and biologicals WHO. 2009. 1-28
5. Hadfield, T.L., McEvoy, P.,Polotsky, Y., Tzinserling, V.A., Yakovlev, A.A. The pathology of diphteria. The journal of infectious disease.2000;181:116-20
6. Besa, N.C., Coldiron,M.E., Bakri,A., Raji,A., Nsuami,M.J.,Rousseau,C., et al. Diphteria outbreak with high mortality in northeastern Nigeria. Epidemiol.infec.2014;142:797-802
7. Ranuh, I.G.N.G., Suyitno,H.,Hadinegoro,S.R.S.,Ismoedijanto,Soedjatmiko. Pedoman Imunisasi di Indonesia edisi keempat. Satgas imunisasi IDAI.2011.1-452
8. Sharma, N.C., Banavaliker,J.N., Ranjan,R.,Kumar,R., Bacteriological & epidemiological characteristics of diphteria cases in & around delhi-a retrospective study. Indian J Med Res.2007;126:545-52.
9. Fadlyana,E., Rusmil,K., Garna,H., Sumarman,I.,Adi,S.S.,Bachtiar,N.S., Tetanus difter (Td) pada remaja sebagai salah satu upaya mencegah reemerging disease di Indonesia.saripediatri.2013;15(3):141-9